MEDIO akhir 1995. Pro dan kontra menyeruak di jagad sastra. Sejumlah penyair, sastrawan bahkan pelaku sejarah hadir membombardir media massa dengan sikap dan posisi politis kesejarahan. Pram, tokoh sastra Lekra dengan karya-karya bernas, dinominasikan memperoleh hadiah prestisius Magsaysay dari Filipina.
Afnan Malay vs Taufiq Ismail
Afnan Malay, aktivis UGM pencetus Sumpah Mahasiswa 1988 kelahiran Maninjau Sumatra Barat, segera ambil posisi dan pasang badan. Dalam surat terbuka untuk Taufiq Ismail, sastrawan kelahiran Bukittinggi Sumatra Barat pendukung Manifes Kebudayaan, Afnan meletakkan fondasi pemikiran yang bisa jadi sampai detik ini masih bisa kita runut benang merahnya untuk membaca eksistensinya.
BACA JUGA: Penyair Ulfatin Ch Membaca 'Gelombang Laut Ibu'
Dalam artikel berjudul "Errare Humanum Est" di harian Jawa Pos (27/8/1995) yang tegas dan tandas, yang tersimpan di almari arsip saya, Afnan tidak saja memandang Pram secara rasional tetapi juga melakukan klarifikasi atas klaim kesejarahan kepada para penentang Pram.
Saya kutip:
Maaf Bung, yang paling urgen dilakukan sejarah hanyalah mewariskan nilai-nilai yang dikandungnya. Bukan fakta yang sesungguhnya terjadi. Fakta sejarah dari 'Prahara Budaya' adalah betapa kejinya seniman-seniman Lekra memperlakukan Bung dan seniman-seniman Manifes Kebudayaan yang lain. Itu boleh jadi betul. Tapi, yang penting bagi saya dan kawan-kawan muda yang berjarak dengan fakta itu adalah betapa busuknya sebuah perbuatan yang keji. Itu saja. Karena itu, kami lebih peduli dengan apakah fakta sejarah yang buruk itu akan merepresentasikan dirinya kembali, dengan aktor yang berbeda, atau tidak. Sebab, siapa pun potensial berbuat keji. Dan, suka tidak suka, perbuatan keji yang tersistem pastilah lebih mungkin lahir dari komunitas yang memiliki kekuasaan.
BACA JUGA: Ketua Kospin PAS Yogya Dinilai Melanggar UU Perbankan, Dituntut Penjara 10 Tahun
Terlepas dari budaya Minang, produsen para pemikir hebat kebangsaan, yang menempatkan dialog sebagai karakter, sikap dan apa yang disampaikan Afnan memang logis, berani dan faktual. Era itu adalah era dimana Afnan cs menguasai panggung demonstrasi untuk mengkritisi tabiat Orde Baru yang sering menegasikan hak asasi manusia dan kebebasan pendapat. Kaca matanya dalam menatap dan menganalisis rezim amat clear dan berbasis akademisi.
Dia, seperti juga para pemikir Minang, telah mengalami apa yang disebut Alfian (1981) sebagai "perantauan intelektual". Tak sungkan, ewuh pekewuh, atau minder saat berhadapan dengan siapapun selagi ada argumen dan rasionalitas yang menopangnya.
BACA JUGA: Pegiat Teater dan Jurnalis Baca Topomini Padukuhan Terbitan Dinas Kebudayaan Sleman
Dalam bahasa yang terukur dan sopan, tanpa meninggalkan ketegasan, Afnan, sebagaimana dia tulis dalam surat itu, menyitir Cak Nun yang mengungkap keberadaan 'penyair lembah' sebagaimana ada dalam Alquran. Penyair dalam katagori piawai merangkai kata sekaligus karya-karyanya memiliki makna seruan ke jalan terang. Dan Afnan melihat secara tajam peluang dan kesempatan kekuasaan untuk mendaur ulang praktik keji dan busuk. Afnan, dalam beberapa hal, konsisten berada di posisi itu. Kritis dan taktis menatap kemilau kekuasaan dalam konteks kontemporer. Ia, seperti yang kita lihat, berada bersama barisan perubahan saat pilpres 2024 berlangsung.
BACA JUGA: April 2025, TPST Donokerto Dioperasikan
Buku Fiksi Mulyono
Dalam perspektif itu saya membaca antologi Afnan terbaru. Buku Fiksi Mulyono merupakan kumpulan 78 puisi buatan 2023-2024, memotret tidak saja bagaimana Afnan melanjutkan perantauan intelektualnya tetapi juga merajut kembali posisi dan keberpihakannya pada kemanusiaan vis a vis kekuasaan. Dulu ia demonstran yang disegani dan dihormati, wajah dan lengking suaranya bergema dari panggung ke panggung. Ada semacam tanggung jawab moral kesejarahan baginya untuk selalu menginterpretasi ulang Sumpah Mahasiswa Indonesia yang dia ciptakan 1988:
Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah
Bertanah air satu
Tanah air tanpa penindasan
Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah
Berbangsa satu
Bangsa yang gandrung akan keadilan
BACA JUGA: Tanah 3,3 Hektar Milik Tukul Berhasil Dieksekusi, Advokat Iwan Setyawan Merasa Lega
Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah
Berbahasa satu
Bahasa tanpa kebohongan
Sejarah bisa jadi sedang memilih Afnan untuk memformulasikan ideologi pembebasan. Dulu, saat otoritarianisme Orba menggurita, Afnan lantang bersuara. Kini, saat reformasi yang turut ia perjuangkan berhasil menumbangkan rezim Orba, sosok yang dia perjuangkan berhasil duduk di kursi kekuasaan dan teman yang dulu berada dalam barisan berhasil masuk di link kekuasaan, Afnan tetap bersuara. Zaman, katanya, sudah berubah. Tetapi dalam tatapan Afnan, beda tafsirnya:
tubuh-tubuh pemuja
terendam ditarik arus, kata-kata menggerus hanyut
terseret menyerahkan diri, dilarung sesaji
semua berburu maut
jadi lumut batu
apung
(Para Pemburu, 2024:16)
BACA JUGA: Kementerian 'Hospitality' IMIPAS, Catatan Ir H Abdullah Rasyid ME
Tragis sekali. Tokoh yang darinya sejarah meminta peran membahasakan penindasan, ketakadilan, dan kebohongan harus menyerahkan diri terseret arus dan menjadi lumut. Ia memang bisa mencegah erosi tanah, menjaga kualitas air dan menjadi sumber makanan bagi hewan kecil, tetapi licin dan berbahaya bagi anak-anak zaman.
"The heart of the problem is the president". Lantang Amien Rais bersuara di hadapan ribuan jamaah terbesar yang pernah hadir dalam acara Jamaah Shalahuddin di Minggu pagi saat acara Ramadhan di Kampus (RDK), Gelanggang 1997. Tandem bersama Rudini dan Adi Sasono, Amien secara vulgar membedah jantung kekuasaan di pengujung rezim Orba. Sefrekuensi dengan dosen Fisipol UGM yang sempat digelari Tokoh Reformasi itu, Afnan pun secara tajam membidik kursi kekuasaan:
mandiri presiden kami
lepas dari bau kolonial
angkat martabat kami
tinggi setinggi
hutang-hutang
menjulang
jauh sejauh
hutang-hutang
merentang
(Bau Kolonial, 2024: 19)
"Tanpa pasemon, hidup itu akan dlujar-dlujur", kata mendiang Umar Kayam suatu saat. Dalam serangkaian puisinya, Afnan mencoba menarik makna kekuasaan dalam bahasa yang sublim dan indah khas tradisi Minang. Kritis tapi tidak criwis, elegan tanpa melupakan ketajaman, sehingga tak terlalu melukai pihak yang dikritisi. Mirip alusi, pasemon adalah teknik gaya berbahasa dalam budaya Jawa yang digunakan untuk menyampaikan nasihat atau sindiran.
BACA JUGA: AKBP Novita Eka Sari Resmi Jabat Kapolres Bantul Gantikan AKBP Michael R Riskotta
Afnan tetaplah Afnan. Artinya, dunia boleh jungkir balik, teman seperjuangan bisa menjadi mitra kekuasaan, atau keberpihakan membelah diri menjadi pihak kita dan pihak mereka, tetapi dia akan tetap enjoy hidup dengan imaji dan kecintaannya pada Indonesia. Panggung Bunderan berubah menjadi setumpuk antologi, ruang realita ditransformasikan kr ruang maya, namun sikap dan keberpihakan, pada teman dan kekuasaan, nampaknya belum banyak berubah. Entah kenapa dia menulis puisi ini:
kata-kata
berserakan dari pikiran
tersungkur dimana-mana
tidak ada yang memungutnya
(Mungkin Aku Tak Menulis Puisi Lagi, 2024:131)
BACA JUGA: Polresta Yogyakarta Klarifikasi Dugaan Penganiayaan terhadap Darso, Ungkap Kronologi Kecelakaan
Sampai tulisan ini naik, saya belum berniat membaca Kata Pengantar Rocky Gerung dan Kata Penutup Denny JA antologi ini. Biarkan imaji kesejarahanku terbang di Bulaksumur tanpa terkontaminasi pemikiran keduanya. Afnan, bagi saya tentu saja, adalah pribadi yang selalu hangat mencairkan pertemanan dan kekuasaan. Dan di zaman cybernitik, itu sudah langka. Bagi saya, itu sudah cukup berharga. (Wahjudi Djaja: Alumni FS UGM, Pembaca Puisi)