Penyair Ulfatin Ch Membaca 'Gelombang Laut Ibu'

share on:
Ulfatin Ch saat launching antologi

Di pangkuan ibu tahtamu terpatri
cakrawala bersemayam di dada
gemuruh ombak nenuntun langkah
mempesona

Tercekat. Termenung. Pintu kenang membuka lalu bergelombang berhamburan lembar-lembar kisah dari April 2012 ketika membaca puisi ini. Bukankah puisi "Tunas Ini" adalah ungkapan cinta kasihnya pada bungsuku Achmad Rabbani al Anshari (Alan)? Bagaimana bisa puisi ini masih tersimpan rapi, tidak saja di file dokumentasi tetapi juga relung hati?

BACA JUGA: Dilema Libur Ramadan, Gus Hilmy: Sebulan Saja untuk Menebalkan Spiritualitas Anak

Lebih dari sekedar seorang penyair perempuan yang bernas dan berintegritas, Ulfatin Ch adalah seorang perekam peradaban. Ini luar biasa. Seorang ibu rumah tangga yang tinakdir menjadi penyair mampu merekam geliat kehidupan, kebudayaan dan peradaban. Dari 88 puisi dalam antologi "Gelombang Laut Ibu" ini Ulfatin menampilkan diri sebagai perekam peradaban yang andal. Ada 8 puisi bertema laut, dan rangkaian letupan rasa merespon beragam peristiwa dari keluarga sampai Palestina. Dari doa sampai demonstrasi, dari Tugu sampai Cikampek.

Catatan saya paling lama tentang penyair kelahiran Pati 31 Oktober 1966 ini berasal dari koran Kedaulatan Rakyat Minggu (14/7/1991). Sekedar catatan, saya saat itu baru tahun pertama kuliah di Fakultas Sastra UGM dan dia sudah menjadi pembicaraan khalayak sastra. Berkenalan di Facebook pada September 2012 dan baru bertemu langsung dengannya pada 2 November 2012 di Purna Budaya UGM. Ada tulisan Korrie Layun Rampan tentang ibu dua anak ini berjudul "Ulfatin Ch Menjadi Bumi" di koran itu. Saya kutip:

Diriku memimpikan engkau
di atas yang tak bertakhta
menuntaskan sejarah dan membangunnya kembali
menjadi bumi

Sajak "Menjadi Bumi" merupakan tipikal sajak magis suasana hati yang berhasil, karena kekuatan image-nya tentang cinta yang menjadi di dalam percintaan yang terhormat. Impresi-impresi antara dunia nyata dan dunia tidak nyata menyatu dalam realitas sastra--yang dikatakan Dr Kuntowijoyo--sebagai sedikit di atas dan sedikit di bawah kehidupan nyata.

Buku terbaru Ulfatin Ch || YP-Ist

Korrie tidak salah dan Ulfatin melanjutkannya pada 88 puisi dalam antologi ini. Puisi-puisi dalam antologi ini dibuat dalam rentang 2010-2024. Sebuah periode yang penuh dinamika terutama soal kebangsaan. Zaman boleh bergerak cepat, maju dan modern, tapi di tangannya mengalami sublimasi makna, tetapi (sekaligus) membuka ruang pemaknaan yang baru. Kita simak puisinya "Jika Menatap Laut" berikut:

Ia bidik bintang sehabis hujan
Dan ia simpan pelangi
dalam
Maka, kupersembahkan ini
sungai-sungai
yang mengalir dari Tursina
(2019)

Sederhana. Jujur. Apa adanya. Kira-kira begitu pilihan kata yang dia ambil. Kata-kata yang tak perlu mengerutkan kening untuk mengenalinya, ditemukan di alam keseharian, tetapi makna yang dia simpan dan lontarkan melampaui apa yang kita terka. Kata-kata yang jujur dan autentik ini dalam beberapa hal dijauhi para penyair. Seolah dengan jumputan kata-kata yang canggih dan berbau serapan, darinya lahir puisi yang bernas dan berkelas.

BACA JUGA: Panewu Banguntapan: Mekanisme PMBG Siswa Sekolah di Bantul Butuh Kejelasan

Dalam bahasa lain, bisa kita temukan pada sajak WS Rendra. Memotret realitas sosial lalu menariknya ke dalam konfigurasi sastra hingga lahir karya-karya yang tidak saja berbobot tetapi juga lintas zaman. Harus diakui, pola Rendra dan Ulfatin semakin sulit ditemukan atau memang itu menjadi trade mark mereka berdua.

Cukup menarik kenapa Ulfatin meletakkan transformasi terminal kehidupan dari Bumi ke Laut. Terlepas ini soal pilihan tematis, ada kesadaran religius untuk memaknai eksistensi diri dalam kesemestaan. Coba kita simak potongan puisi "Di Hadapan Rindu" berikut:

Dan jika bulan telah Kau tundukkan
mengapa aku tidak
Dan jika angin berjalan atas kehendakMu
mengapa aku punya keinginan
yang membelenggu jiwa
Dan jika Kau tak beri aku keluasan
bagaimana akan melangkah di jalanMu
(2019)

Belum semua puisi di antologi ini saya baca secara mendalam. Tulisan singkat ini sekadar mangayubagya, turut bahagia. Namun, benang merah yang dia rajut sedikit banyak telah bisa saya terka dan nikmati keintimannya. Sebuah karya yang dipersiapkan secara detail, matang, berkualitas lahir dari sebuah dapur seorang ibu rumah tangga. Ini sesuatu banget. Selamat dan berkah selalu, aamiin. (Wahjudi Djaja, Alumni FS UGM)


 


share on: