KISRUH TATA NIAGA GULA, FTGN : Hapus Dualisme Pasar dan Berlakukan Sistem Beli Putus

share on:
Ketua Umum FTGN, Supriyanto Sardjowikaro (berjaket hitam) saat memberikan keterangan pers di Sleman, Rabu (21/8/2019) || YP/Ismet

Yogyapos.com (SLEMAN) – Forum Transparansi Gula Nasional (FTGN) mendesak pemerintah menghapus dualisme pasar terhadap komodisi gula pasir. Sehingga yang ada di pasar adalah satu jenis komoditi yaitu gula pasir. Selain itu juga melakukan regulasi sistem ‘beli putus’ antara petani tebu dengan pabrik selaku pembeli.

“Adanya dualisme itu sangat merugikan petani tebu,” tegas Ketua Umum FTGN Supriyanto Sardjowikarto didampingi Ketua Bidang Pemberdayaan Petani Adrianto Santoso dan Ketua Bidang Hukum-Advokasi Romi Habie SH, di Sleman, Rabu (21/8/2019).

Selama ini terjadi karut marut pergulaan nasional. Diantaranya terdapat dualisme pasar terhadap komoditi gula pasir, yaitu Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR). Keduanya merupakan komiditi yang sama, namun berada di pasar dengan harga yang berbeda, GKP berkisar Rp 10.500, sedangkan GKR Rp 8.500. Perbedaan harga yang cukup signifikan ini mengakibatkan sering terjadinya perembesan GKR ke pasar konsumen. Padahal seharusnya GKR diperuntukan bagi industri.

Supriyanto lebih jauh mengungkapkan, karut marut pergulaan nasional muncul lantaran belum terciptanya Sistem Tata Kelola Pergulaan Nasional yang baik. Sehingga menimbulkan banyak persoalan dari hulum sampai hilir. Di sektor hulu masih banyak permasalahan yang belum dapat diatasi sehingga berimbas pada sektor hilir yakni tata niaganya.

Dicontohkan, pada sektor hulu persoalan terjadi karena rendahnya produktivitas lahan akibat tidak tersedianya bubir unggul. Bahkan hingga kini terjadi praktik budidaya pertaniaan masih tradisional, semakin langka dan mahalnya tenaga kerja serta penggunaan raton tebu secara berulang-ulang.

Di sisi lain sistem pembelian tebu yang diberlakukan oleh pabrik gula terhadap tebu petani dengan sistem bagi hasil (SBH)tidak dapat memberikan transparansi perolehan rendemen tebu petani. Dan yang menggunakan SBH itu justru pabrik-pabrik gula milik pemerintah atau BUMN yang merupakan tempat bernaung sebagian besar petani tebu.

“Patut diingat, pabrik-pabrik gula milik pemerintah merupakan warisan kolonial, sebagian besar sudah tidak efisien,” tukas Supriyanto.

FTGN mendesak juga kepada pemerintah berkomitmen meningkatkan kesejahteraan petani tebu melalui penyediaan bibit tebu unggul yang memiliki produktivitas dan tingkat rendemen yang tinggi, penyediaaan pupuk yang tepat waktu dan tepat jumlah serta pendampingan secara terus menerus dalam penerapan teknologi budidaya yang tepat guna.

Perlindungan kepada para petani tebu juga wajib diberlakukan sistem ‘beli putus’ . Artinya, petani menjual tebunya ke pabrik, kemudian langsung dibayar. Jangan sampai pembayarannya menunggu setelah tebu tersebut diproduksi menjadi gula dan siap jual sebagaimana yang terjadi selama ini, dimana para petani harus menanti pembayaran sampai sepuluh hari.

“Pewajiban sistem beli putus ini penting pula agar petani terhindar dari ketidaktransparan rendemen, serta untuk melindungi agar petani tidak dilibatkan dalam persoalan perdagangan gula. Petani difokus lebih pada bagaimana meningkatkan produktivitasnya yang berkualitas,” sambung Adrianto.

Pemerintah juga disarankan bekerjasama dengan pihak Akademisi melakukan rekalkulasi terhadap HPP Gula Pasir di pabrik yang berbasis prinsip efisiensi. Sehingga HET ditingkat konsumen dapat ditetapkan berdasarkan asas-asas perlindungan konsumen.

Terpentng lagi, tandas Adrianto, dalam mengatasi rembesan GKR ke pasar konsumen maka pemerintah jangan selalu menimpakan kesalahan hanya kepada para Industri Kecil Menengah (IKK). Melainkan harus menertibkan Pabrik Gula Rafinasi yang masih memproduksi GKR dengan kristal kasar. “Patut dicermati, selama ini banyak gula rafinasi yang secara visual tidak dapat dibedakan dengan GKP sehingga berpotensi besar merembes ke pasar konsumen umum,” ketusnya. (Met)

 

 


share on: