ABAD dua puluh satu telah terjadi peralihan keris dari senjata menjadi aksesoris. Orang Jawa masih tetap membudayakan keris bukan sebagai pusaka kelengkapan busana adat namun menempatkan keris sebagai seni, cinderamata atau bahkan menjadi investasi komersial. Keris jaman sekarang lebih banyak untuk upacara adat pernikahan, atau event seremonial lainnya.
“Dalam budaya Jawa, keris dahulu dipuja sebagai tosan aji (bahasa Jawa senjata pusaka suci Keris diyakini memiliki kemampuan untuk menanamkan keberanian pada pemegangnya. Sebagai piyandel, menambah rasa percaya diri,” ungkapkan Dr Purwadi MHum, pengamat keris dari UNY.
Kebudayaan Jawa, termasuk pembuatan dan pemakaian keris, mencapai puncaknya pada abad ke-19, mulai surut pada abad ke-20, dan di abad ke-21 ini semakin menghilang.
“Keris adalah produk kebudayaan yang multi fungsi, yaitu sebagai senjata tajam, sebagai benda pelengkap ritual adat dan busana adat, serta sebagai benda koleksi dan investasi yang bisa mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya,” jelas Purwadi saat bincang keris dengan yogyapos.com, beberapa waktu lalu di kediamannya Minomartani Sleman.
Dijelaskannya, Keris itu adalah senjata tajam, alat perlengkapan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun pemilihan bahan hingga proses pembuatannya memiliki ciri khusus. Sehingga wajar mendapat tempat dan perlakuan khusus. Karena kekhususan inilah keris diyakini memiliki kemampuan untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan menambah keberanian bagi pemegangnya.
Di masa damai setelah puluhan tahun merdeka ini keris tidak lagi difungsikan sebagai senjata tajam, namun lebih pada perlengkapan pakaian adat. Saat seseorang tengah memiliki hajat tertentu, seperti pernikahan, keris hadir untuk menambah kesakralan acara. Hajatan dengan tatacara dan budaya Jawa ini lebih didominasi kalangan pegawai atau pengusaha menengah atas.
“Kaum menengah atas itu biasanya mendapatkan keris dari peninggalan keluarga atau hasil dari membeli keris tua yang berkualitas baik hingga bisa meningkatkan 'derajat' pemakainya, terlihat lebih agung dan berkelas,” Purwadi menambahkan.
Keris juga merupakan bagian dari kelengkapan busana. Keris adalah simbol maskulinitas seorang laki-laki Jawa. Keris sering dianggap sebagai pusaka dan lazim diturunkan dari generasi ke generasi. Nilai spiritualitas yang terkandung pada keris menjadikan benda ini mempuyai nilai kesakralan sendiri. Sebagai bangsa yang besar dan berperadaban logam yang tinggi maka sudah sewajarnya kita tetap menjaga dan mempertahankan nilai-nilai budaya luhur.
Keris adalah sebentuk senjata tajam yang dulu banyak digunakan oleh kerajaan-kerajaan Jawa di masa lalu. Selain untuk senjata, keris juga merupakan benda pusaka. Hingga kini banyak keris kuno yang masih terawat dengan baik.
Keris dengan sarungnya tidak dapat dipisahkan. Hal ini mengandung arti bahwa raja dan rakyat tidak dapat dipisahkan hubungannya. Raja tidak akan bisa memimpin tanpa rakyat dan rakyat tidak akan bisa hidup tanpa raja.
Keris pada masyarakat Jawa dikenal dengan nama tosan aji, yaitu benda besi yang dimuliakan. Keris bukanlah senjata biasa, namun pusaka, mitos, hingga sejarah suatu peristiwa besar dapat terkandung dalam sebuah keris.
Pertimbangan religi juga menjadi alasan mengapa pernikahan denga tata cara dan pakaian adat Jawa ini semakin banyak ditinggalkan. Karena rendahnya kepedulian dan daya beli masyarat pada umumnya, keris-keris kuno yang bermutu bagus banyak yang akhirnya dilepas pada di pasar internasional.
Beberapa tahun belakangan ini proses retradisionalisasi gaya hidup di kalangan keluarga Jawa perkotaan tingkat menengah keatas, telah menimbulkan kecenderungan yang menempatkan keris kadang menjadi tidak seimbang antara permintaan dan penawaran.
Pada perkembangan yang sekarang, keris lebih dibutuhkan sebagai bagian dari gaya hidup kelas menengah (kelompok-kelompok tertentu). Disini, keris diperlakukan sebagai suatu benda pusaka. Orang memiliki sebilah keris atau lebih banyak lagi, karena bendanya itu dianggap memiliki nilai budaya yang tinggi, tingkat keindahan, atau latar historis tertentu. Keris juga dianggap memiliki kekuatan isoteris yang berupa angsar atau tuah, yang dianggap sangat diperlukan oleh para pemiliknya.
Sedangkan pada saat diperlukan, dapat pula digunakan untuk kelengkapan acaraacara di dalam masyarakat seperti mantenan misalnya. Kemudian juga dipakai sebagai bagian dari kelengkapan di dalam busana yang dapat menampilkan tampakan sadar budaya dan status sosial dari pemakainya. Ataupun dapat pula, orang yang bersangkutan memang berminat terhadap keris-keris dengan alasan untuk dikoleksi.
Keris, dari jaman dahulu hingga sekarang telah menjadi suatu benda yang menarik untuk dimiliki sebagai benda koleksi, dipandang sebagai suatu bentuk karya seni dan spiritual yang sangat indah maupun diperbincangkan dari berbagai aspek. Bukan saja pada aspek fisik maupun non fisik, tetapi juga aspek sejarah dan evolusi perkembangannya.
Pada umumnya orang jawa pada awal abad ke-21 ini sedang berubah statusnya dari masyarakat peralihan menjadi masyarakat modern. Oleh karena itu sikap dan cara hidupnya pun dalam beberapa aspek sudah mengacu ke cara berpikir modern. Dalam perkerisan sikap peralihan tersebut, antara lain, tampak bahwa sebagian orang Jawa masih tetap membudayakan keris itu sebagai kelengkapan busana adat atau pusaka, tetapi sebagian lain sudah mulai menempatkannya sebaga benda seni, cinderamata, atau bahkan menjadi investasi komersial. Demikian pula satu kalangan masih percaya pada tuah dalam sebilah keris, tetapi kalangan lain sudah menganggap bawah keris itu semata karya seni yang indah.
Bagi orang masa kini, cara yang paling mudah untuk mendapat pengetahuan perkerisan adalah dengan menghayati keris-keris yang masih ada sekarang. Sudah tentu bahwa untuk mempelajarinya masih tetap harus mempertimbangkan kaidahkaidah tradisional, namun menggunakan cara analisis modern.
Sikap dan cara hidupnya pun dalam beberapa aspek sudah mengacu ke cara berpikir modern. Dalam perkerisan sikap peralihan tersebut, antara lain, tampak bahwa sebagian orang jawa masih tetap membudayakan keris itu sebagai kelengkapan busana adat atau pusaka, tetapi sebagian lain sudah mulai menempatkannya sebaga benda seni, cinderamata, atau bahkan menjadi investasi komersial. Demikian pula satu kalangan masih percaya pada tuah dalam sebilah keris, tetapi kalangan lain sudah melakukan penelititan keris dengan cara mengorbankan bilah keris, misalnya dibelah atau dipotong.
Keris biasanya dikenakan pada upacara khusus, dengan bilah pusaka yang diturunkan dari generasi ke generasi. Baik pria maupun wanita bisa memakainya, meski untuk wanita lebih kecil. Spiritualitas dan mitologi yang kaya berkembang di sekitar senjata. Keris digunakan untuk pajangan, sebagai jimat berkekuatan magis, senjata, pusaka yang disucikan, perlengkapan pembantu prajurit keraton, sebagai pelengkap pakaian upacara, penunjuk status sosial, lambang kepahlawanan, dll.
Dalam budaya Jawa keris dipuja sebagai tosan aji (bahasa Jawa untuk "senjata pusaka suci") dan dianggap sebagai pusaka. Keris diyakini memiliki kemampuan untuk menanamkan keberanian pada pemegangnya. Properti ini dikenal sebagai 'piyandel', menambah rasa percaya diri.
Dalam upacara pernikahan Jawa, keris sebagai bagian penting dari kostum pernikahan pengantin pria Jawa wajib dihiasi dengan rangkaian melati. Penambahan susunan bunga melati di sekeliling keris dimaksudkan sebagai simbol agar seorang laki-laki tidak mudah marah, kejam, garang, terlalu agresif, lalim dan kasar.
“Penggunaan keris pada pengantin itu agung, terlihat mistis,” Purwadi menambahkan.
Di seluruh nusantara, keris merupakan simbol kepahlawanan, kehebatan bela diri, kekuasaan dan kewibawaan. Sebagai simbol budaya, keris yang dihias dengan cermat melambangkan kehalusan, seni dan keindahan, sebagai kebanggaan dan harta berharga bagi pemiliknya
Orang Jawa secara tradisional memakai keris di punggung mereka, untuk melambangkan kekerasan sebagai upaya terakhir dari sebuah perselisihan.
Penggunaan keris di belakang juga bermakna bahwa orang Jawa bisa mengendalikan ketajaman atau kekuatan yang dia miliki. Dalam arti lain, pantang bagi orang Jawa untuk menunjukkan kesaktiannya di depan orang lain. Mereka bisa mengendalikan hawa nafsu, bukan justru dikendalikan oleh hawa nafsu tersebut. Penggunaan keris di belakang juga bermakna bahwa orang Jawa tidak suka pamer, mereka tidak suka menonjolkan kelebihan mereka di depan.
Meski memiliki kelebihan, entah itu kekayaan, kepandaian, atau kesaktian tertentu, orang Jawa akan selalu tampil rendah hati. Dalam arti lain, pantang bagi orang Jawa untuk menunjukkan kesaktiannya di depan orang lain. Mereka bisa mengendalikan hawa nafsu, bukan justru dikendalikan oleh hawa nafsu tersebut.
Namun dalam kondisi tertentu beberapa tokoh masyarakat memakai keris di badan bagian depan. Penggunaan keris di bagian depan badan di bagian perut disebut dengan 'sikep'. Biasanya, orang yang menggunakan keris di depan adalah golongan ulama atau kiai. (Yuliantoro)